Lumpur bisa digunakan untuk membuat masjid, ya banyak material yang bisa dimanfaatkan untuk membuat bangunan, salah satunya masjid yang ada di Mali, Afrika Barat.
Terletak di pedalaman gersang Gurun Sahara yang panas di Mali Selatan, Masjid Agung Djenne memiliki struktur bangunan yang memikat dan langsung memicu imajinasi.
Masjid Agung Djenne yang lokasinya ada di tepi sungai Bani, Mali, merupakan konstruksi batu bata lumpur terbesar di dunia dan di tetapkan sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO.
Bangunan ini dibangun pada abad ke-13 dan arsitekturnya dirancang oleh arsitek Ismaila Traore dengan gaya arsitektur Sudano-Sahel.
Dengan tinggi hampir 20 meterm bangunan ini adalah bangunan berbahan baku lumpur terbesar di dunia dan contoh terbaik arsitektur Sudano-Sahel, gaya bangunan di wilayah setempat yang memiliki ciri khas plesteran batako dan perancah kayu.
Struktur masjid ini terdiri dari batu bata yang dibuat dari tanah berlumpur (disebut ferey) dan kemudian dilapisi pasir serta campuran semen berbahan dasar tanah. Setelah itu, dilapisi kembali dengan plester.
Namun iklim di Mali tidak terlalu mendukunjg, material ini karena udara kering yang ekstrim membuat permukaan dinding masjid menjadi retak.
Karena masjid Agung memerlukan plesteran ulang untuk mempertahankan tampilannya yang halus dan ikonis, para penduduk setempat pun menggelar acara tahunan yang disebut dengan Crepissage de la Grand Masjid (Plesteran Masjid Raya)
Selain material bangunan yang unik, fasad bangunan juga dihiasi dengan sisipan batang palem rodier atau disebut sebagai toron.
Toron ini bahkan menonjol kurang lebih 60 cm dari permukaan fasad masjid. Tidak hanya memberikan tampilan khas pada masjid, tetapi toron juga menjadi penyokong bagi umat yang saat melakukan acara plesteran masjid setiap tahun.
Masjid ini berdiri diatas tumpukan tanah setinggi 3 meter dan memiliki luas 75×75 meter. Lokasi masjid ini ditinggikan untuk mencegah kerusakan jika sungai Bani meluap dan menyebabkan banjir.
Untuk masuk ke masjid, tersedia enam set tangga yang juga dibuat dari tanah lumpur. Tidak ada cat yang menutupi bagian eksterior masjid.
Ruang sholat, yang terletak di bagian timur masjid, berukuran 26×50 meter dan ditopang oleh Sembilan dinding bagian dalam yang membentang dari utara ke selatan.
Bertengger didataran antara sungai Niger dan Bani, Djenne telah dihuni sejak tahun 250 SM, menjaikannya salah satu kota tertua di kawasan sub-Sahara Afrika.
Kota ini berkembang antara abad ke 13 dan ke-18 sebagai pusat transportasi utama untuk komoditas seperti garam dan emas.
Kafilah dagangpun membawa cendekiawan dan penulis, yang memperkenalkan islam ke wilayah tersebut.
Dan tidak butuh waktu lama bagi Djenne untuk menjadi pusat cendekiawan Islam, dengan bangunan Masjid Agung saat ini yang dibangun tahun 1907 di situs asli masjid komunitas tersebut, yang hancur pada abad ke-19.
Pengaruh islam tampak jelas kini, dengan santri-santri yang kerap mengakji Qur’an di jalan-jalan Djenne.
Masjid Agung tetap sejuk bahkan selama hari-hari terpanas. Sebuah kisi dari 90 kolom kayu menopang atap dan dinding, yang menginsulasi sengat panas matahari.
Dinding masjid Agung Djenne direkonstruksi menggunakan lumpur setiap bulan April dalam acara yang digelar selama satu hari yang epic, yang disebut Crepissage (memasang plester)
Usaha luar biasa ini memastikan bahwa masjid akan selamat dari musim hujan, meskipun bentuknya sedikir berubah setiap tahun.
Terlepas dari sejarahnya selama berabad abad masjid ini tetap menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat modern.
Masjid Djenne adalah symbol kohesi sosial setiap tahun, pasrtisipasi komunikasi dalam pekerjaan pemeliharaan menunjukkan rasa kebersamaan dan ekspresi bagaimana cara hidup bersama.